Home » 2009 » October

Monthly Archives: October 2009

Bulletin SADAR Edisi: 246 Tahun V – 2009, POLITIK BERPARAS PEREMPUAN, BAGAIMANA RUPA POLITIK KITA?

Oleh Khalisah Khalid *

Judul di atas terinspirasi dari sebuah buku yang berjudul politik berparas perempuan yang ditulis oleh Joni Lovenduski. Sebuah buku kritis yang memacu adrenalin perempuan yang ingin melihat lebih jauh bagaimana wajah politik kita, dan menilai sejauh mana keberhasilan perempuan yang telah masuk ke gelanggang politik mampu mempengaruhi kultur politik dan bahkan mempengaruhi produk kebijakan yang dihasilkan.

Meskipun banyak mengambil pelajaran dari pertarungan politik perempuan di Inggris dan Perancis, tidak ada salahnya jika kita mencoba menariknya dalam situasi politik nasional yang sudah ”panas” menjelang pemilu 2009. Langkah afirmatif yang diterjemahkan ke dalam sebuah ketentuan kuota minimum 30% dalam Undang-Undang Pemilu 2009, akhirnya terjegal dalam proses politik berikutnya di Mahkamah Konstitusi yang bagi saya sebagai sebuah ”tragedi” yang semakin melengkapi begitu liberalnya sistem politik ini mereformasi dirinya dengan memberikan ruang bagi kehadiran perempuan untuk secara maksimal masuk dalam gelanggang politik praktis.

Belum banyak memang orang yang mengerti makna langkah afirmatif bagi perempuan di dalam politik, termasuk kuota. Cerminan ini bisa dilihat ketika politisi perempuan yang berada di nomor urut ”sepatu” gembira dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi melalui suara terbanyak. Konyolnya dalam perdebatan yang muncul di media massa selalu menghadapkan politisi laki-laki yang mendukung kuota 30 persen bagi perempuan dengan politisi perempuan yang tidak mendukung kuota 30 persen. Padahal begitu banyak aktivis perempuan yang masuk ke gelanggang politik praktis ini berjuang mati-matian untuk satu pasal dalam undang-undang pemilu yang mengatur soal kuota bagi perempuan.

Kondisi yang muncul inilah yang kemudian membangun sebuah pandangan bahwa kuota 30 persen itu sendiri tidak didukung oleh perempuan, padahal ruang untuk memaknai kuota 30 persen itulah yang harus semakin dikuatkan secara substantif, sehingga tidak terjadi kekhawatiran Soe Tjen Marching, seorang feminis dan staf pengajar pada Universitas London dalam tulisannya di salah satu media massa menyatakan bahwa kuota hanya menjadi retorika murahan atau saya menyebutnya kuota 30 persen hanya sebagai permen politik bagi perempuan.

Seorang kawan kontributor majalah Tapol yang sudah lebih dari 10 tahun bermukim di London juga sempat mewawancarai sejumlah aktivis perempuan Indonesia, untuk mengetahui bagaimana pandangan kami sebagai aktivis perempuan terkait dengan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Sebagai salah seorang yang diwawancarai, saya menyatakan bahwa Sarekat Hijau Indonesia yang merupakan gerakan politik hijau di Indonesia mendukung langkah affirmative action dengan kuota 30 persen perempuan duduk di parlemen, namun tentu saja langkah afirmatif berupa kuota ini tidak berhenti sampai di sini, karena berbagai persoalan yang dialami oleh perempuan bukan hanya disebabkan oleh persoalan struktural berupa ketimpangan pada relasi kelas yang mempengaruhi akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan di dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Faktanya dalam pemilu 2009 yang telah berlalu, agenda perempuan dalam pengelolaan kekayaan alam dan isu lingkungan hidup, sepi disuarakan oleh partai-partai politik. Padahal krisis lingkungan dan praktek eksploitasi kekayaan alam telah menghancurkan sumber-sumber kehidupan perempuan. Di sinilah tantangan berat bagi perempuan yang telah masuk pada ruang-ruang politik praktis di parlemen, agar kehadirannya bukan hanya seperti pemanis parlemen, apalagi sebagai hadiah politik. Kita tunggu kiprahnya melalui kebijakan politik yang dihasilkan, sejauh mana berpihak pada kepentingan dan kebutuhan rakyat, khususnya perempuan.

* Penulis adalah Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 2009-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia. Penulis juga anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau http://www.prakarsa-rakyat.org).

81 Tahun Sumpah Pemuda : Kado Pelajar SMA Untuk Indonesia

Korupsi Nasionalisme; Martabat Seharga Rp. 5000,-; Hutan Bakau, Target Korupsi Selanjutnya; Diagnotika Eksploitasi Sumber Daya Alam hingga Menyoal Investasi Tambang Dan Masa Depan Tanah Samawa

Rakyat kudu puas hanya dengan sejenis pemuda zaman revolusi yang sohor disebut “pemuda ponggol”, ia tergugah bergerak karena ada pamrih nasi ponggol dari dapur umum. Juga “pemuda-pemudaan” yang tak bebas dari pengaruh bapakisme dan tak berpikir buat memaksa “bapak” bertindak sesuai dengan keinginan mereka, seperti sejatinya pemuda. Jenis jinak, tak menggugah, yang disebut Saya Shiraishi dalam Indonesia Family in Politics sebagai pemuda daripada bapakisme yang tetap tinggal sebagai persoalan dan kekuatan penting kekuasaan dekaden karena cuma bisa membebek, wek-wek-wek.” (J.J. Rizal “Pemuda daripada Bapakisme” di Koran Tempo)

Di tengah arus kekuasaan dan kebudayaan yang membiakkan ”pemuda daripada bapakisme” yang cuma bisa membebek, wek-wek-wek….


Lahir angkatan muda pelajar-pelajar SMA yang idealis, progresif, dan berkomitmen. Paling tidak dengan pena mereka menorehkan semangat dan pandangan visionernya.

Diantaranya bisa disimak Hana Hanafih (siswi SMAN 5 Bandung) dengan buah penanya ”Martabat Seharga Rp. 5.000,-”, Kathrinna Rakhmavika (siswi SMA Santa Ursula BSD) dengan Korupsi Nasionalismenya, Agus Mandiri dkk (siswa-siswi SMAN 3 Sumbawa Besar) dengan Menyoal Investasi Tambang Dan Masa Depan Tanah Samawa…..

Membaca tulisan-tulisan mereka, tak pelak lagi mengiang-ngiang kembali percikan gagasan Sahabat Bumi Manusia Pramoedya Ananta Tour

“Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah.”

“Kamu jangan takut untuk maju dan bicarakan ide-ide kamu. Sekali kamu takut, kamu kalah.”

“Angkatan muda harus punya keberanian. Kalau tidak punya, sama saja dengan ternak yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri.”

Inilah kado mengharukan dari pelajar-pelajar SMA untuk Indonesia di 81 Tahun Sumpah Pemuda


Lomba Menulis Anti Korupsi Tingkat SMA. Diselenggarakan atas kerjasama antara Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), Perkumpulan Praxis, Mainteater Bandung, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

* selamat untuk pada para siswi (perempuan tentu) yang memborong juara 1,2,3
Juara 1 : Martabat Seharga Rp. 5000,-
Juara 2 : Korupsi Nasionalisme
Juara 3 : Hutan Bakau, Target Korupsi Selanjutnya

Debat Politik SDA-Lingkungan Hidup yang diselenggarakan oleh Lembaga Olah Hidup (LOH), Sumbawa Besar, NTB
Juara 1 : Menyoal Investasi Tambang Dan Masa Depan Tanah Samawa
Juara 3 : Diagnotika Eksploitasi Sumber Daya Alam

baca juga
Suara Anak-anak Korban Lapindo di Tengah Dagang Sapi Kursi Kekuasaan
Kumpulan Cerpen dan Puisi Anak Korban Lapindo

[Telah Terbit] EFFECTIVE APOLOGY by John Kador

EFFECTIVE APOLOGY

[Merajut Hubungan, Memulihkan Kepercayaan]

Penulis: John Kador

SINOPSIS

Headline surat kabar penuh dengan politisi yang meminta maaf, kaum selebriti yang perlu meminta maaf, dan para pemimpin bisnis yang gagal saat berusaha melakukannya. Kenyataannya, kita semua punya alasan untuk meminta maaf. Tapi menurut John Kador, kita tidak butuh lebih banyak lagi permintaan maaf. Kita butuh lebih banyak permintaan maaf efektif, permintaan maaf yang memulihkan ketegangan dalam hubungan, menciptakan peluang untuk tumbuh, dan memberi hasil yang lebih baik bagi semua pihak.

Effective Apology menantang Anda berpikir tentang nilai mendasar suatu permintaan maaf, bagi Anda dan sang penerima, dengan menelusuri secara rinci dimensi-dimensi kunci–yang disebut Kador sebagai 5 P–permintaan maaf yang tulus, permintaan maaf yang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan dan memperbarui. Kador juga memberikan kiat bagaimana menerima atau menolak permintaan maaf, sepuluh hal yang harus dan tidak boleh dilakukan (dos and don’ts) perihal permintaan maaf, serta kuis untuk menguji AQ (Apology Quotient) Anda.

Buku ini dilengkapi lebih dari 70 contoh permintaan maaf yang baik, buruk, maupun yang tidak efektif. Tidak ada buku lain yang memadukan pendekatan aplikatif sedemikian praktis, dengan analisis yang kaya, tentang apa yang dibutuhkan untuk meminta maaf secara efektif.

ENDORSEMENTS

“Buku ini memberitahu Anda hal-hal pokok dalam merangkai permintaan maaf yang efektif di dunia kerja. John Kador berbagi beberapa pendekatan praktis dan telah terbukti soal permintaan maaf yang harus dikuasai setiap manajer.”

—Lee Iacocca, mantan pemimpin dan CEO, Chrysler Motors Corp.

“Meminta maaf sama sekali tidak mudah. Namun buku yang sangat penting dan optimis ini membantu kita mengubah hambatan menjadi peluang untuk membangun kembali hubungan yang didasarkan pada akuntabilitas dan keterbukaan.”

—Christine Comaford, CEO, Mighty Ventures, dan penulis Rules for Renegades, buku laris versi New York Times

“Effective Apology adalah jenis buku yang seharusnya telah saya baca bertahun-tahun lalu . . . pedoman terbaik dalam menggunakan serangkaian kata sederhana – Saya minta maaf – untuk meningkatkan kualitas hidup dan memberdayakan dunia kita.”

—Daniel H. Pink, penulis A Whole New Mind

PENULIS

JOHN KADOR adalah penulis produktif yang telah menelurkan enam belas buku, di antaranya Charles Schwab: How One Company Beat Wall Street and Reinvented the Brokerage Industr; Net Ready: Strategies for Success in the E-conomy (bersama John Sifonis dan Amir Hartman); The Manager’s Book of Questions: 751 Great Questions for Hiring the Best Person; How to Ace the Brainteaser Job Interview; dan 201 Best Questions to Ask On Your Interview.

Selain penulis, ia juga konsultan dan pembicara yang berlaku seolah setiap kata merupakan pilihan moral. Pekerjaan utamanya mengidentifikasi dan menggambarkan praktik-praktik terbaik dalam kepemimpinan dan mempromosikan standar tertinggi akuntabilitas pribadi, kerendahan hati, dan transparansi. Kredo pribadinya: beda tak selalu lebih baik, tapi yang lebih baik selalu beda.  

John memulai karier menulisnya di Washington DC pada suatu agensi humas dan periklanan berteknologi tinggi. Selama lebih dari 30 tahun, ia menjadi Kepala Kador Communications, yang menyediakan bantuan editorial bagi puluhan klien perusahaan dan media. Wawasan-wawasannya telah dimuat di lebih dari seratus majalah dan surat kabar, termasuk The Chicago Tribune, Computerworld, Working Women, dan Business to Business. Ia bahkan memiliki kolom di Chief Executive, Registered Rep, dan Human Resources Executive.

Pria yang meraih gelar master dalam Public Relation dari The American University ini kini tinggal di Winfield, Pennsylvania, bersama istrinya Anna Beth Payne, seorang psikolog di suatu pusat konseling universitas.

______________________________________
DATA BUKU

Judul : Effective Apology: Merajut Hubungan, Memulihkan Kepercayaan
Penulis : John Kador
Genre : Self-help
Penerjemah : Th. Dewi Wulansari dan Kunti Saptoworini
Editor : Indi Aunullah
Ukuran : 15 x 23 cm (plus flap, 9 cm)
Tebal : 332 halaman
ISBN : 978-979-19974-1-6
Harga : Rp. 69.000,-

==========================================
Pustaka Alvabet
Ciputat Mas Plaza Blok B/AD
Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat
Jakarta Selatan Indonesia 15411
Telp. +62 21 7494032,
Fax. +62 21 74704875
http://www.alvabet.co.id

Pendemo Pelantikan SBY : Siapa dan Apa Sikap Mereka?

Berikut adalah pernyataan-pernyataan politik dari elemen-elemen gerakan yang melakukan demonstrasi saat pelantikan SBY 20 Oktober 2009 yang sementara ini berhasil dihimpun oleh redaksi lentera







Beberapa aksi-aksi demonstrasi saat pelantikan SBY di DPR-RI (20 Oktober 2009) menurut catatan Traffic Management Center (TMC) Dit Lantas Polda Metro Jaya :

Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia – KASBI (FBSKU, SPEK, GSBN, PROGRESIF, SPJ RMM, KSN, PRP, SMI, JGM, SPCI, SP Gemerik).

Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) (SRMI, LMND, FNPBI, PPDB, SPARTAN, Seniman Jakarta, PAPERNAS dan IISIP).

Komite Perjuangan Rakyat – K.P.R (ABM, FPBJ, SMI, KPOP, SBTPI, GESBURI, GSPB, SPI, PPRM, SPKAJ, SBI, SEPETAK, KPA)

Front Perjuangan Rakyat – FPR (Migrant Care, GSBI, AGRA OPSI, SBB, FBC, ATKI, FMN, CGM UBK, GMKI, PMKRI, HIHMAHBUDI, LPB, GRI, SHI),

Kesatuan Aksi Mahasiswa Raya Jakarta – KM. Raya Jakarta (UIN, UBK, APP, BSI Bekasi)

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI, Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, Banten, Purwokerto, gerakan Pemuda mahasiswa Sosialis, At-Tahiriyah)

Gerakan Merah Putih (KM LASKI, UMJ, Univ Atma Jaya, UHAMKA, Borobudur, Jayabaya),

Forum Bersama (FKPI, JAMPER, RPM, UKI, FAM YAI, REPDEM, Gunadharma, PRODEM, GMNI, BENDERA, BMD, PENA 98).

Edisi: 245 Tahun V – 2009, MENENGOK ULANG IMPLEMENTASI KONVENSI HAK ANAK DI INDONESIA

Oleh Alfa Gumilang *

Tanggal 5 Oktober. Pada tanggal ini mungkin orang Indonesia secara umum akan lebih banyak mengingat sebagai hari berdirinya TNI. Tak salah memang ingatan itu, melihat begitu banyak peristiwa dan sejarah negeri ini yang berhubungan dengan kemiliteran. Entah mungkin tentang begitu heroiknya tentara dalam cerita perang melawan penjajahan, atau bahkan cerita tentang seribu satu macam pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang melibatkan intitusi tersebut.

Tapi mungkin hanya sedikit orang yang tahu, bahwa pada tanggal tersebut ada peristiwa lain yang tak kalah penting bagi perkembangan HAM di Indonesia. Tepatnya pada tanggal 5 Oktober 1990, Konvensi Hak Anak (KHA) pertama kali berlaku di Indonesia, setelah sebelumnya melalui Keputusan Presiden No. 36/1990, tertanggal 25 Agustus 1990, Indonesia meratifikasi KHA.

Dalam sejarahnya, konvensi ini bermula dari sebuah gagasan mengenai hak anak pada saat berakhirnya perang dunia pertama. Hal ini muncul ke permukaan sebagai reaksi atas apa yang terjadi setelah perang dunia pertama tersebut usai. Sebuah kondisi dimana akibat dari perang tersebut, begitu sangat merugikan masyarakat dunia, khusunya penderitaan yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak. Seruan agar adanya sebuah perhatian baik oleh publik dan tentunya perhatian yang lebih pula oleh negara atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang dunia, seringkali diteriakkan oleh para aktivis perempuan.

Adalah Eglantyne Jebb, salah seorang aktivis perempuan yang kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak. Yang selanjutnya pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Dan selanjutnya pada tahun 1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai Hak Anak. Tahun 1979 yang merupakan Tahun Anak Internasional, pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Lalu sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak berhasil diselesaikan dan naskah akhirnya disahkan oleh Majelis Umum PBB sebagai Konvensi Hak Anak. Namun demikian pemberlakukan KHA sebagai hukum internasional baru dimulai pada tanggal 2 September 1990.

Melihat rentetan tahun bersejarah tersebut, begitu panjang perjuangan masyarakat sipil agar anak mendapatkan sebuah pengakuan dan perlindungan secara khusus atas hak-haknya. Karena anak sebagai individu yang belum matang secara fisik, mental maupun sosial, acap kali kondisinya dan beresiko terhadap tindak ekploitasi, kekerasan, penelantaran dan lain-lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan, dalam waktu sebelum KHA itu diberlakukan sebagai hukum internasional, telah banyak jutaan anak yang menjadi korban, baik korban perang yang masih terus berlangsung, atau korban eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual, korban perdanganan ataupun bentuk-bentuk eksploitasi lainya.

Lalu bagaimana implementasi KHA itu di Indonesia?

Pertanyaan tersebut selakayaknya adalah negara dalam hal ini pemerintah yang harusnya mampu menjawabnya. Karena yang punya kewajiban untuk melakukan implementasi terhadap KHA adalah negara yang telah melakukan ratifikasi KHA, dan Indonesia adalah salah satu dari 188 negara yang telah melakukan ratifikasi KHA (sampai tahun 1996). Secara legislasi, pemerintah telah melakukan upaya implentasi dengan dikeluarkanya Keppres No. 36/1990, UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No 23 tahun 2003 mengenai Perlindungan Anak, serta aturan-aturan terkait lainya. Langkah ini memang selayaknya mendapatkan apresiasi sebagai wujud upaya pemenuhan hak-hak anak.

Namun demikian, seperti pada persoalan-persoalan lainnya, secara praktis, upaya tersebut sangatlah buruk di lapanganya. Karena terbukti sampai sekarang, masih banyak sekali persoalan-persoalan yang menyangkut atas hak-hak anak yang belum mampu dipenuhi oleh negara/pemerintah. Belum lagi persoalan perlidungan terhadap anak akan kekerasan yang sangat besar terjadi di daerah-daerah yang berkonflik, persoalan eksploitasi anak sebagai tenaga kerja untuk mendapatkan buruh yang murah dan semata-mata untuk keuntungan pengusaha saja. Lalu eksplotasi secara seksual juga masih banyak terjadi di negeri ini, khususnya perdagangan anak untuk tujuan seksual atau anak yang dilacurkan.

Menelaah lebih jauh tentang eksploitasi seksual komersial terhadap anak merupakan salah satu pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak, yang dalam bentuknya terdiri atas prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Pelanggaran tersebut bisa berbentuk kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan terhadap anak. Dimana anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah obyek seksual dan sebagai obyek komersial serta merupakan bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak yang mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. Data dari IPEC-ILO tahun 2004, menyebutkan bahwa sekurangnya ada 27% anak yang masih di bawah umur (usia 18 tahun ke bawah sesuai dengan KHA) atau sekitar 2.329 anak dari sekitar 8.440 pekerja seks komersil yang ada di wilayah Dolly, Surabaya. Sementara Saleemah Ismail dari UNIFEM menyatakan lebih dari 40% dari sekitar 19.000 pekerja seks di Batam berusia di bawah 18 tahun.

Keberadaan anak dalam bisnis prostitusi ini tentunya tidak lahir dari keinginan anak untuk berada di sana. Namun melainkan adalah dari sebuah bentuk perdagangan anak. Dimana adanya proses perekrutan, pemindahtanganan, penampungan dan penerimaan anak. Dari pantauan media massa yang dilakukan oleh tim gugus tugas anti trafficking, pada tahun 2006 saja setidaknya tercatat ada 184 korban perdagangan yang 35 di antaranya adalah anak-anak untuk ditempatkan di wilayah prostitusi di Surabaya. Dan kebanyakan dari korban perdagangan anak tersebut, berlatar belakang dari keluarga yang tidak mampu, kemudian berpendidikan rendah, atau dari keluarga yang tidak lengkap.

Upaya pencegahan seharusnya mampu secara nyata dan aktif bisa dilakukan oleh institusi pemerintahan dalam hal ini adalah kepolisian untuk melakukan penyidikan dan peneyelidikan terhadap para pelaku kejahatan perdagangan anak. Apalagi payung hukum yang tersedia juga sudah ada. Begitu pula upaya pencegahan dari hulu yang harus cepat dilakukan oleh pemerintah. Karena melihat dari latar belakang para korban yang umumnya adalah dari keluarga yang miskin atau tidak mampu dan juga para korban yang berpendidikan rendah. Artinya kesejahteraan bagi rakyat harus menjadi prioritas utama dari pemerintah, yang tentunya adalah dalam bentuk pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial. Karena jika hal ini dilakukan, maka tidak hanya persoalan anak dan perdagangan anak saja yang akan teratasi, tapi juga akan berimbas pada seluruh persoalan masyarakat lainnya. Jika kita menengok strategi dan perspektif pemerintah dalam pembangunan ekonomi negeri ini, sangatlah berorientasi dan sangat berpihak pada kepentingan pemilik modal atau pengusaha serta keuntungan semata. Tanpa kemudian memperhatikan hal-hal yang menyangkut pemerataan pembangunan di daerah-daerah, pembukaan lapangan kerja yang bersifat massal dari industri yang kuat, serta pemenuhan upah yang layak bagi kehidupan para pekerja. Sehingga anak pun bisa mendapatkan hak-hak dasarnya seperti pendidikan yang berkualitas, karena tingkat pendidikan yang rendah juga merupakan faktor dari terjadinya pelacuran terhadap anak dan juga perdagangan anak.

Paradigma pembangunan ekonomi yang seperti inilah yang kemudian berdampak sangat besar terhadap persoalan ekonomi masyarakat yang berlanjut pada banyaknya kasus perdagangan manusia (trafficking) dan ekspoitasi terhadap anak dalam banyak hal untuk kepentingan komersial.

Ekonomi sebagai dasar kehidupan manusia harus terpenuhi secara layak dan bermartabat serta berkeadilan sosial adalah hal utama yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya memenuhi hak-hak anak. Selain pula juga terus melakukan upaya praktis dan aktif untuk menanggulangi perdagangan anak dan pemenuhan hak-hak anak. Karena anak bukanlah sebuah komoditi untuk diperdagangkan, anak bukanlah sebuah obyek untuk dinikmati secara seksualitas. Karena anak haruslah terpenuhi hak-haknya untuk mempunyai identitas, anak haruslah terpenuhi haknya atas pendidikan dan kesehatan. Anak haruslah mendapatkan perlindungan hukum dan kasih sayang, anak pula harus mendapatkan haknya untuk bermain, berekreasi, berfikir, berpendapat dan berkarya, serta tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif.

* Penulis adalah pekerja di Yayasan Anak dan Perempuan (YAP) di bidang trafficking, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau http://www.prakarsa-rakyat.org).