Home » religi

Category Archives: religi

Untuk Kaum Hawa

(tolong ingatkan kepada semua kaum perempuan yang anda kenal)
Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Saudara dan saudari kaum muslimin dan muslimat
Renungan
khususnya untuk para wanita dan diriku sendiri.

Sayidina Ali ra menceritakan suatu ketika melihat
Rasulullah saw menangis manakala ia datang bersama Fatimah.

Lalu keduanya bertanya mengapa Rasulullah saw menangis. Beliau menjawab: “Pada malam aku di-isra’-kan, aku melihat perempuan-perempuan yang sedang disiksa dengan berbagai siksaan. Itulah sebabnya mengapa aku menangis. Karena, menyaksikan mereka yang sangat berat dan mengerikan siksanya.”

Putri Rasulullah saw kemudian menanyakan apa yang dilihat ayahandanya:
“Aku lihat ada perempuan digantung rambutnya, otaknya mendidih.
Aku lihat perempuan digantung lidahnya, tangannya diikat ke belakang dan timah cair dituangkan kedalam tengkoraknya.
Aku lihat perempuan tergantung kedua kakinya dengan terikat tangannya sampai ke ubun-ubunnya, diulurkan ular dan kalajengking.
Dan aku lihat perempuan yang memakan badannya sendiri, dibawahnya dinyalakan api neraka. Serta aku lihat perempuan yang bermuka hitam, memakan tali perutnya sendiri.
Aku lihat perempuan yang telinganya pekak dan matanya buta, dimasukkan kedalam peti yang dibuat dari api neraka, otaknya keluar dari lubang hidung, badannya berbau busuk karena penyakit sopak dan kusta.
Aku lihat perempuan yang badannya seperti himar, beribu-ribu kesengsaraan dihadapinya.
Aku lihat perempuan yang rupanya seperti anjing, sedangkan api masuk melalui mulut dan keluar dari duburnya sementara malikat memukulnya dengan pentung dari api neraka,” kata Nabi saw.

Fatimah Az-Zahra kemudian menanyakan mengapa mereka disiksa seperti itu?
Rasulullah menjawab:
“Wahai putriku, adapun mereka yang tergantung rambutnya hingga otaknya mendidih adalah wanita yang tidak menutup rambutnya sehingga terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya.
Perempuan yang digantung susunya adalah istri yang ‘mengotori’ tempat tidurnya.
Perempuan yang tergantung kedua kakinya ialah perempuan yang tidak taat kepada suaminya, ia keluar rumah tanpa izin suaminya, dan perempuan yang tidak mau mandi suci dari haid dan nifas.
Perempuan yang memakan badannya sendiri ialah karena ia berhias untuk lelaki yang bukan muhrimnya dan suka mengumpat orang lain.
Perempuan yang memotong badannya sendiri dengan gunting api neraka karena ia memperkenalkan dirinya kepada orang yang kepada orang lain bersolek dan berhias supaya kecantikannya dilihat laki-laki yang bukan muhrimnya.
Perempuan yang diikat kedua kaki dan tangannya ke atas ubun-ubunnya diulurkan ular dan kalajengking padanya karena ia bisa shalat tapi tidak mengamalkannya dan tidak mau mandi junub.
Perempuan yang kepalanya seperti babi dan badannya seperti himar ialah tukang umpat dan pendusta. Perempuan yang menyerupai anjing ialah perempuan yang suka memfitnah dan membenci suami.”
Mendengar itu, Sayidina Ali dan Fatimah Az-Zahra pun turut menangis. Dan inilah peringatan kepada kaum perempuan.
 Sumber: Aku Seorang Wanita

Surat Untuk Bunda, Nanda

Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Teruntuk Bundaku tersayang…
Dear Bunda…

Bagaimana kabar bunda hari ini? Semoga bunda baik-baik saja… nanda juga disini baik-baik saja

bunda… Allah sayang banget deh sama nanda. Allah juga yang menyuruh nanda menulis surat ini untuk bunda, sebagai bukti cinta nanda sama bunda….

Bunda, ingin sekali nanda menyapa perempuan yang telah merelakan rahimnya untuk nanda diami walaupun hanya sesaat…

Bunda, sebenarnya nanda ingin lebih lama nebeng di rahim bunda, ruang yang kata Allah paling kokoh dan paling aman di dunia ini, tapi rupanya bunda tidak menginginkan kehadiran nanda, jadi sebagai anak yang baik, nanda pun rela menukarkan kehidupan nanda demi kebahagiaan bunda. Walaupun dulu, waktu bunda meluruhkan nanda, sakit banget bunda…. badan nanda rasanya seperti tercabik-cabik… dan keluar sebagai gumpalan darah yang menjijikan apalagi hati nanda, nyeri, merasa seperti aib yang tidak dihargai dan tidak diinginkan. Tapi nanda tidak kecewa kok bunda… karena dengan begitu, bunda telah mengantarkan nanda untuk bertemu dan dijaga oleh Allah bahkan nanda dirawat dengan penuh kasih sayang di dalam syurga-Nya.

Bunda, nanda mau cerita, dulu nanda pernah menangis dan bertanya kepada Allah: “mengapa bunda meluruhkan nanda saat nanda masih berupa wujud yang belum sempurna dan membiarkan nanda sendirian di sini? Apa bunda tidak sayang sama nanda? Bunda tidak ingin mencium nanda? Atau jangan-jangan karena nanti nanda rewel dan suka mengompol sembarangan?” Lalu Allah bilang: “bunda kamu malu sayang…”, “kenapa bunda malu?”, “karena dia takut kamu dilahirkan sebagai anak haram…”, “anak haram itu apa ya Allah?”, “Anak haram itu anak yang dilahirkan tanpa ayah…” Nanda bingung dan bertanya lagi sama Allah: “ya Allah, bukannya setiap anak itu pasti punya ayah dan ibu? Kecuali nabi Adam dan Isa?” Allah yang Maha Tahu menjawab bahwa bunda dan ayah memproses nanda bukan dalam ikatan pernikahan yang syah dan Allah Ridhoi. Nanda semakin bingung dan akhirnya nanda putuskan untuk diam.

Bunda, nanda malu terus-terusan nanya sama Allah, walaupun Dia selalu menjawab semua pertanyaan nanda tapi nanda mau nanyanya sama bunda aja: “pernikahan itu apa sih? Kenapa bunda tidak menikah saja dengan ayah? Kenapa bunda membuat nanda jadi anak haram dan mengapa bunda mengusir nanda dari rahim bunda dan tidak  memberi kesempatan nanda hidup di dunia dan berbakti kepada bunda? Hehe,,, maaf ya bunda, nanda bawel banget… nanti saja, nanda tanyakan bunda kalau kita ketemu Oh ya Bunda, suatu hari malaikat pernah mengajak jalan-jalan nanda ke tempat yang katanya bernama neraka. Tempat itu sangat menyeramkan dan sangat jauh berbeda dengan tempat tinggal nanda di syurga. Di situ banyak orang yang dibakar pake api lho bunda… minumnya juga pake nanah dan makannya buah-buahan aneh, banyak durinya… yang paling parah, ada perempuan yang ditusuk dan dibakar kaya sate gitu, serem banget deh bunda. Lagi ngeri-ngerinya, tiba-tiba malaikat bilang sama nanda: ‘Nak, kalau bunda dan ayahmu tidak bertaubat kelak disitulah tempatnya… disitulah orang yang berzina akan tinggal dan disiksa selamanya.’ Seketika itu nanda menangis dan berteriak-teriak memohon agar bunda dan ayah jangan dimasukkan kesitu… nanda sayang bunda… nanda kangen dan ingin bertemu bunda… nanda ingin merasakan lembutnya belaian tangan bunda dan nanda ingin kita tinggal bersama di syurga… nanda takut, bunda dan ayah kesakitan seperti orang-orang itu…” Lalu, dengan lembut malaikat berkata: “nak, kata Allah kalau kamu sayang, mau bertemu dan ingin ayah bundamu tinggal di syurga bersamamu, tulislah surat untuk mereka… sampaikan berita baik bahwa kamu tinggal di syurga dan ingin mereka ikut, ajaklah mereka bertaubat dan sampaikan juga kabar buruk, bahwa jika mereka tidak bertaubat mereka akan disiksa di neraka seperti orang-orang itu.”

Saat mendengar itu, segera saja nanda menulis surat ini untuk bunda, menurut nanda Allah itu baik banget bunda… Allah akan memaafkan semua kesalahan makhluk-Nya asal mereka mau bertaubat nasuha… bunda taubat ya? Ajak ayah juga, nanti biar kita bisa kumpul bareng disini… nanti nanda jemput bunda dan ayah di padang Mahsyar deh… nanda janji mau bawain minuman dan payung buat ayah dan bunda, soalnya kata Allah disana panas banget bunda… antriannya juga panjang, semua orang sejak jaman nabi Adam kumpul disitu… tapi bunda jangan khawatir, Allah janji, walaupun rame kalo bunda dan ayah benar-benar bertaubat dan jadi orang yang baik, pasti nanda bisa ketemu kalian.

Bunda, kasih kesempatan buat nanda ya… biar nanda bisa merasakan nikmatnya bertemu dan berbakti kepada orang tua, nanda juga mohon banget sama bunda… jangan sampai adik-adik nanda mengalami nasib yang sama dengan nanda, biarlah nanda saja yang merasakan sakitnya ketersia-siaan itu. Tolong ya bunda, kasih adik-adik kesempatan untuk hidup di dunia menemani dan merawat bunda saat bunda tua kelak.

Sudah dulu ya bunda… nanda mau main-main dulu di syurga… nanda tunggu kedatangan ayah dan bunda disini… nanda sayang banget sama bunda… muach!

Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

———————————————-
STOP PACARAN and SEX BFORE MARRIED…
AVOID to ABORTION…!!!!!

Sumber:

MUI: Valentine Tidak Haram tapi Jangan Maksiat

Senin, 13 Februari 2012 10:56:49 WIB
Reporter : Harisandi Savari

Pamekasan (beritajatim.com) – Valentine’s Day (hari valentine) yang dirayakan sejumlah kalangan pada 14 Februari bisa haram hukumnya. Itu jika dalam pelaksanaannya dibumbui adanya maksiat.

Hal itu disampaikan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan, Zainal Alim, Senin (13/2/2012.

Menurutnya, valentine atau hari kasih sayang sebenarnya tidak ada dalam kamus Islam. Untuk itu, hari valentine merupakan hari biasa yang awal mulanya berasal dari Roma, Italia.

“Jadi tidak wajib dirayakan,” ujarnya.

Meski demikian, ia tidak mengharamkan hari valentine, terpenting orang yang melakukannya masih sejalan dengan ajaran Islam. Seperti, tidak ada maksiat.

“Jika dilakukan dengan menyimpang dari akidah dan kepercayaan, merusak perbuatan maksiat, minum-minuman keras, joget-jogetan, campur baur laki-laki dan perempuan yah itu tidak boleh. Kalau itu ada maka tidak diperkenankan dan haram hukumnya dalam agama,” tambah Zainal.

Zainal menambahkan, demi mencegah tidak adanya perbuatan maksiat, jauh hari MUI melakukan tauziah dan pendekatan terhadap orang tua. Akan tetapi, MUI berharap kepada pemerintah agar mampu mengawasi perayaan valentine.

“Islam itu indah. Jika dalam perayannya tidak ada maksiat, tidak boleh dibubarkan. Jika ada, ya silahkan dibubarkan,” pungkasnya. [san/but]


Sumber: BeritaJatim

Hakikat Idul Adha dan Idul Qurban Sebagai Sarana Menemui ALLAH

Oleh: Ustadz Suparman Abdul Karim

Setiap manusia yang dilahirkan diatas dunia ini, membawa sifat dasar yang disebut dengan sifat fithrah. Salah satu sifat fithrah tersebut adalah hasrat atau keinginan yang kuat untuk kembali ke tempat dimana ia berasal. Ketika kita bertanya ke dalam diri, dari manakah aku berasal ? Maka kita diperintahkan untuk mengenal diri, Siapakah aku ini ? Hal ini sesuai dengan firman Allah:

Wa fil ardhi aayaatul lil muuqiniin. Wa fi anfusikum afala tubshiruun.
Dan di bumi terdapat tanda-tanda bagi orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS Adz Dzariyat 51 : 20-21)

Barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya (Al Hadits)

Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dengan berpasang-pasangan. Misalnya adalah alam lahir dan alam bathin, lelaki dan perempuan, siang dan malam, baik dan buruk, negatif dan positif dan sebagainya.

Wa min kulli syai-in kholaqnaa zaujaini la’allakum tadzakkarun
Dan Kami ciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan supaya kamu mendapat pengajaran. ( QS Adz Dzariyat 51 : 49)

Dalam ajaran Islam, diri kita dibagi menjadi minimal dua bangunan utama yaitu bangunan jasmani dan bagunan rohani. Hasil interaksi antara jasmani dan rohani akan menimbulkan gejala kejiwaan. Dengan kata lain, dari hasil perkawinan antara rohani dan jasmani maka lahirlah “ anak” yang bernama jiwa atau nafsani. Jika dilihat dari asalnya, maka jasmani berasal dari bapak ibu kandungnya, yang juga berasal dari garis keturunannya sampai ke asal nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa. Sedangkan rohani manusia berasal dari Allah dan Nabi Muhammad.

Tsumma sawwaahu wa nafakho fiihi ruhihi wa ja’ala lakumus sam’a wal abshooro wal af idata qoliilam maa tasykuruun

Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan kepadanya Roh-Nya dan Dia menjadikan untuk kamu pendengaran, penglihatan dan hati. Sedikit sekali kamu bersyukur (QS. As Sajadah 32 : 9).

Anna minnallohi wal mu’minu minni

Aku adalah yang dijadikan pertama kali oleh Allah dan seluruh orang mu’min itu dijadikan dari padaku. (Al-Hadits)

Awalu ma kholaqollohu ta’ala nuuri

Pertama-tama yang dijadikan Allah adalah Cahayaku. (Al Hadits)

Dalam diri jasmani dan rohani, masing-masing mempunyai hasrat atau keinginan yang kuat untuk kembali menemui asalnya masing-masing. Tetapi keinginan yang kuat untuk kembali menemui asal tersebut tidak semuanya terpenuhi dengan baik dan benar. Oleh karena itu agama Islam memberikan tuntunan bagaimana keinginan atau hasrat untuk kembali menemui asal kita dapat terpenuhi dengan cara yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, yaitu dengan diperintahkannya umat Islam untuk merayakan dua hari raya besar, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha lengkap dengan ritual keagamaan yang mendahuluinya, sesuai dengan hadits Nabi:

Jabir ra. Berkata: Rasulullah saw datang ke Madinah, sedangkan bagi penduduk Madinah ada dua hari yang mereka bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai permainan. Maka Rasulullah saw bertanya: Apakah hari yang dua ini? Penduduk Madinah menjawab adalah kami di masa jahiliah bergemberi ria padanya. Kemudian Rasulullah bersabda : Allah telah menukar dua hari ini dengan yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fithri. (HR. Abu Dawud).

Sebelum merayakan hari raya Idul Fithri, umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan yang ke sembilan yaitu Ramadhan dan pada tanggal 1 syawal kita merayakan hari raya Idul Fithri dengan penuh kegembiraan. Di negara kita hari raya Idul Fithri dirayakan dengan tradisi mudik atau pulang kembali ke asalnya masing-masing untuk bertemu dengan bapak dan ibunya di tempat tinggalnya masing-masing. Dan saat bertemu dengan bapak dan ibunya tersebut kita melaksanakan tradisi sungkem atau salim atau salaman untuk memohon ampunan atas segala dosa yang kita perbuat. Dalam tradisi tersebut, kita melihat bahwa umat Islam di Indonesia telah mempunyai tradisi untuk memenuhi hasrat atau keinginan setiap manusia untuk kembali ke asal jasmaninya, yaitu untuk kembali menemui kedua orang tuanya dan bersalim kepada keduanya.

Untuk memenuhi hasrat atau keinginan rohani untuk kembali kepada asalnya, Allah memerintahkan setiap umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji. Pada hakikatnya proses ritual ibadah haji merupakan proses perjalanan setiap manusia untuk pulang kembali ke asalnya baik secara jasmani maupun secara rohani. Jasmani manusia jika ditelusuri asalnya, semuanya berasal dari nenek moyang yang satu yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa, sedangkan semua rohani manusia berasal dari Allah. Dalam ritual ibadah haji yang menjadi puncaknya adalah wuquf di padang Arafah yang merupakan tempat pertemuan antara Nabi Adam dan Siti Hawa ketika diturunkan di atas dunia. Dari pertemuan itu maka lahirlah keturunan dari mereka berdua, yang sekarang jumlahnya telah mencapai kurang lebih 5 milyar. Setiap umat Islam mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat untuk kembali menapaktilasi atau menulusuri asalnya yaitu dengan berkunjung ke padang Arafah untuk merenungkan proses terjadinya pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa tepatnya di Jabal Rahmah.

Sedangkan secara rohani setiap manusia juga mempunyai hasrat atau keinginan untuk kembali kepada asalnya yaitu Allah SWT. Keinginan ini disalurkan melalui proses ibadah haji dengan cara Wuquf di padang Arafah untuk mengenal dan bertemu dengan Allah. ( wuquf = menghentikan. Sedang arafah = mengenal. Jadi hakekat wuquf dipadang arafah adalah proses ritual untuk menghentikan aktifitas jasmani untuk mengenal dan bertemu dengan Asal kita yaitu Allah SWT ). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

Wa adzdzin fin naasi bil hajji ya’tuuka rijaalaw wa ‘alaa kulli dhaamiriy ya’tiina min kulli fajjin ‘amiiq

Dan serulah manusia untuk melaksanakan haji, niscaya mereka datang kepada engkau dengan berjalan kaki dan mengendarai unta-unta yang kurus yang datang dari segala penjuru yang jauh. (QS Al-Hajj 22 : 27).

Secara jasmani tujuan melaksanakan ibadah haji, adalah melaksanakan rukun haji dengan sempurna, yang merupakan simbol dari gerak kembali ke asal-usul kejadian jasmani kita. Sedangkan secara rohani bertujuan untuk kembali menemui asalnya yaitu Allah. Hal ini berarti bahwa setiap umat Islam yang melakukan ibadah haji harus kembali menemui asal rohaninya yaitu Allah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an :

Wa aniibuu ilaa robbikum wa aslimuu lahu min qobli ay ya’tiyakumul ‘adzaabu tsumma la tunshoruun

Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang kepadamu azab kemudian kamu tidak dapat ditolong lagi. (QS Az-Zumar 39 : 54)

Maka segeralah kamu kembali menghadap kepada Allah, sesungguhnya aku pemberi peringatan yang terang dari Allah kepada kamu. (QS Adz Dzariyat 51 : 50)

Yaa ayyuhal insaanu innaka kaadihun illa ribbika kadhan fa mulaaqiih

Hai manusia, sesungguhnya engkau harus berusaha dengan usaha yang keras untuk menemui Tuhan dikau, sampai engkau bertemu dengannya. (QS Al-Insyiqaq 84 : 6)

Qul innamaa a’izhukum bi waahidatin an taquumuu lillahi matsnaawa furoodaa tsuma tatafakkaru maa bi shoohibikum min jinnatin in huwa illa nadziirul lakum baina yadai ‘adzaabin syadiid

Katakanlah: sesungguhnya aku hanya mengajarkan kepada kamu satu ajaran saja yaitu bahwa kamu menghadap Allah, berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian hendaklah kamu pikirkan tiadalah sahabat kamu itu gila, dia tiada lain hanyalah pemberi peringatan kepada kamu sebelum datang azab yang sangat keras (QS Saba 34 : 46)

Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan manusia untuk mengadakan pertemuan atau perjumpaan dengan Allah sewaktu masih hidup di dunia, dengan melaksanakan ibadah haji. Jadi Idul Adha merupakan sarana untuk merayakan kembalinya seorang manusia yang berhasil bertemu dengan Tuhannya. Kata Id berasal dari bahasa Arab, yang artinya kembali, sedangkan kata Adha seakar dengan kata Dhuha yang artinya Terangnya Cahaya Siang, sehingga Idul Adha dapat diartikan sebagai proses kembalinya seorang manusia yang pulang ke asalnya yaitu Cahaya Allah Yang Terang Benderang dengan melakukan prosesi Wuquf di padang Arafah. Wukuf artinya berhenti atau menghentikan segala aktifitas jasmani dan inderawi dalam rangka mengenal (Arafah) Allah Yang Padang (Terang), sesuai dengan hadits Nabi SAW : “Al Hajju arofah” = Bukti itu adalah mengenal. Mengenal siapa ? tentunya adalah mengenal Allah atau Ma’rifatullah.

Dalam kehidupan sehari-hari umat Islam, Hari Raya Idul Adha sering juga disebut dengan Istilah ‘Idul Qurban. Kata tersebut bersumber dari dua kata dalam bahasa Arab, yaitu “Id” dari kata “aada – ya’uudu”, yang bermakna “kembali”. Sedangkan kata “Qurban”, berasal dari kata qaraba-yaqrabu, bermakna ‘mendekat’. Qarib’ adalah ‘dekat’, dan ‘Al-Muqarrabuun’ adalah ‘(hamba) yang didekatkan’.

Secara hakikat “Idul Qurban” mempunyai makna sebagai sebuah hari dimana kita belajar untuk kembali merenungi apa saja yang membuat kita dapat mendekati Dia Sang Maha Cahaya.

Secara syariat, terdapat banyak cara bagi setiap hamba utnuk dapat mendekati Allah (Taqarrub ilaLlah). Salah satu caranya adalah dengan mengorbankan sebagian hartanya yang ditukarnya dengan daging kambing atau sapi, dengan harapan Allah akan menarik mereka semakin dekat pada-Nya, dan berharap Allah akan menerima qurban mereka sebagaimana Allah menerima qurban-nya putra Nabi Adam As yang bernama Habil.

Tentu yang kita kurbankan adalah harta yang memang terasa berat untuk dilepas, bukan harta yang kita keluarkan dengan ringan hati, disebabkan masih sangat banyaknya sisa harta yang kita miliki. Artinya, kita yang bergaji empat puluh lima juta rupiah perbulannya, dengan mengeluarkan dana hanya satu juta untuk seekor kambing bisa jadi belum disebut ‘berkurban’, karena tidak ada rasa pengorbanan yang membuat dia sulit mengeluarkannya. Bisa kita bayangkan bagaimana ‘rasa taqarrub‘ seorang Ibrahim a.s., atau Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang bisa mengurbankan ratusan ekor unta pada hari qurban-nya.

“Kamu sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan (Al-Birr), sebelum kamu menginfakkan (tunfiquu) bagian (harta) yang kamu cintai (mimma tuhibbuun). Dan apa saja yang kamu infakkan (tunfiquu), maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran 3 : 92)

“Bukanlah Al Birr itu menghadapkan wajah kamu kea rah timur dan barat, tetapi Al Birr itu adalah barang siapa yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta-minta, dan membebaskan perbudakkan, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan orang-orang yang memenuhi janjinya bila ia berjanji dan orang-orang yang sabar dalam kesengsaran, penderitaan dan pada waktu peperangan. Mereka itulah orang-orang yang bershodaqo dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa” (QS Al Baqarah 2 : 177)

Jika kita yang bergaji empat puluh lima juta rupiah perbulan, kemudian dikeluarkan satu juta rupiah setiap tahun sekali saja untuk ‘kurban’ kita, sebagai sarana transformasi jiwa kita, apakah itu sudah sampai pada tingkat ‘menginfakkan bagian yang dicintai’ sebagaimana tersebut dalam ayat di atas? Akan sampaikah kita pada Al-Birr?

Tentu logika pemikiran kita perlu diajak untuk memaknai, mengapa akhirnya kita mafhumi banyak sekali umat Islam, para saudara kita yang setiap tahun berhasil mengeluarkan sebagian dananya untuk berkurban, namun tidak ada apapun yang berhasil mereka peroleh dari penyisihan sebagian uangnya itu, selain hal tersebut lewat begitu saja dengan tidak membawa perubahan sedikitpun kedalam dirinya. Itu menunjukkan bahwa makna Idul Qurban belum berhasil diperolehnya. Ketika kedekatan dengan Allah tidak bertambah, jiwa tidak menjadi semakin halus dan bersih, dan jasad tidak semakin beramal baik, maka kita sebenarnya tidak mendapat manfaat dari nilai-nilai Idul Qurban. Padahal sebenarnya melalui Idul Qurban itu, kita dapat menemukan, bukan saja amal baik, tetapi bisa jadi Allah berkenan menuntun kepada amal shalih-nya masing-masing. Sehingga pada akhirnya ‘Idul Qurban, sebagaimana maknanya, juga menjadi sebuah pintu ke arah tangga transformasi diri seorang hamba untuk menjadi ‘Al-Muqarrabuun’.

Mungkin, karena kita belum berhasil menemukan makna Idul Adha, sebagai nama lain dari Idul Qurban itu sendiri. (‘Adha’ memiliki makna terang dan penyembelihan). Ada yang harus kita ’sembelih’ di dalam diri kita ini pada setiap perayaan ‘Idul Adha. Demikian pula, pada dasarnya, tidak menjadi soal apakah kita memiliki uang yang cukup untuk berkurban, atau tidak.

Ketika kita belum memilki kemampuan untuk menyisihkan sebagian dana yang kita miliki dalam rangka belajar ber-qurban, mengorbankan harta kita, dan untuk menyembelih hewan kurban, sebenarnya Allah telah memberi kemampuan melakukan penyembelihan lain yaitu menyembelih ‘kambing’, ’sapi’, maupun ‘hewan ternak’ lain yang ada dalam diri kita yaitu berupa dominasi aspek hawa nafsu dan syahwat kita.

“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah dirimu dan keluarlah dari kampungmu,” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya jikalah mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian adalah lebih baik bagi mereka, dan lebih menguatkan.” (QS An Nisa 4 : 66).

Sudah waktunya sekarang, pada saat kita memasuki pergantian tahun baru ini, dan pergantian perilaku yang baru ini, marilah kita sama-sama belajar untuk ‘membunuh diri’ yaitu belajar untuk menyembelih dominasi aspek kedengkian, aspek ketakaburan, aspek buruk sangka, aspek kemalasan, aspek keinginan pengakuan bahwa diri ini begitu berharga dimata orang lain, aspek kecintaan kita pada uang dan harta benda, dan segala aspek lainnya dalam diri kita yang memang perlu disembelih, untuk kemudian mempersembahkan hasilnya, yaitu diri kita yang telah ‘tersembelih’ dari aspek-aspek tersebut, kepada Allah Yang Maha Qorib.

Sudah waktunya pula kita belajar untuk ‘keluar dari kampung’ kita yaitu belajar untuk keluar dan memerdekakan diri dari dominasi jasadiyah terhadap jiwa kita yang sejati, dan belajar untuk keluar dari dunia fisikal dan jasadiyah ini. Kerena sesungguhnya masih ada dunia lain, di luar ‘kampung’ kita ini yang lebih Indah dan Damai.

“Sekali-kali tidaklah daging-daging dan darahnya itu dapat mencapai Allah, melainkan ketaqwaan yang dilakukan Ruhani kamu (yang dapat mencapai-Nya)… ” (QS Al hajj 22 : 37)

Bukan dagingnya, bukan darahnya, bukan uangnya. Tetapi ketaqwaan yang dilakukan oleh ruhani kita yang dapat mencapai-Nya. Mampukah kita ber-qurban atau ber-infaq hingga pada titik yang kita benar-benar merasa berat, karena kita mencintai qurban sejumlah itu ?

Memang tidak mudah menyembelih semua dominasi syahwat dan hawa nafsu ini. Untuk belajar menghargai waktu saja bukanlah hal yang sederhana, untuk belajar memaafkan orang lain pun juga bukanlah hal remeh, apalagi kita mencoba berjuang menemukan amal-amal shalih kita…

Tapi yang membuat kita senantiasa memiliki harapan kuat, adalah, karena Allah tidak pernah merasa bosan menerima dan menerima terus, setiap penyesalan kita, setiap kesadaran diri bahwa kita lemah, setiap pengakuan dosa kita, dan setiap keinginan taubat kita. Semoga pengakuan ini menjadi tanda bahwa kita memang butuh dan selalu membutuhkan Dia Sang Maha Pengayom dan Pembuka Jalan. Semoga kita berhasil merayakan Idul Qurban atau Idul Adha kita dengan bersama-sama membangun kesadaran diri.

Ya Allah, semoga pengorbanan hamba demi taqarrub kepada-Mu Engkau terima, semoga Engkau beri pula hamba kekuatan untuk dapat menyembelih setiap dominasi hawa nafsu dan syahwat yang senantiasa menenggelamkan hamba.

————————-
AKU INGIN PULANG
Oleh : Ebit G.Ade
Kemana pun aku pergi Bayang-bayangmu selalu mengejar Bersembunyi dimana pun Selalu engkau temukan

Aku merasa letih dan ingin sendiri Ku tanya pada siapa Tak ada yang menjawab Sebab semua peristiwa Hanya di rongga dada

Pergulatan yang panjang dalam kesunyian Aku mencari jawaban di laut Ku seret langkah menyusuri pantai Aku merasa mendengar suara Menutupi jalan menghentikan petualangan

Kemana pun aku pergi selalu ku bawa-bawa Perasaan yang bersalah datang menghantui ku
Masih mungkinkah pintumu ku buka Dengan kunci yang pernah kupatahkan Lihatlah aku terkapar dan luka Dan dengarkanlah jeritan dari dalam jiwa

Aku ingin pulang Aku harus pulang Aku ingin pulang Aku harus pulang

Spirit Pengorbanan dalam Idul Adha

IDUL Adha adalah hari penuh kemenangan besar. Dalam hari yang dirayakan kaum muslimin seluruh dunia itu terkandung nilai kepatuhan dan keikhlasan saat menjalankan perintah Allah SWT. Idul Adha adalah wujud keikhlasan yang tak tertandingi.

Ia adalah hari ketika ajaran Nabi Ibrahim AS menjadi teladan. Ia juga menjadi salah satu monumen terbesar umat manusia untuk menandai betapa dalam menjalankan perintah Sang Pencipta, manusia harus ikhlas merelakan apa pun yang paling berharga dalam hidup. Termasuk melepas anak terkasih bila itu memang dikehendaki Sang Khalik.

Dan ritual penyembelihan Ismail oleh sang ayah, Ibrahim, menjadi salah satu hikmah terpenting dari hakikat Idul Adha. Di sana ada kepatuhan, ketulusan, dan keikhlasan. Di sana ada pula spirit untuk berkorban. Itulah contoh pengorbanan terbesar yang pernah dilakukan hamba Allah.

Spirit pengorbanan dengan bobot sekaliber Ibrahim saat menyembelih sang anak, Ismail, adalah amal langka dalam konteks kekinian. Ia menjadi sebuah kemustahilan, bahkan keajaiban.

Pada era ketika individualisme meraih pencapaian tertinggi di puncak kejayaan materialisme seperti sekarang ini, spirit pengorbanan lebih bermakna ziarah kepada egosentrisme.

Kini hal-hal yang menyangkut pengorbanan telah banyak yang hilang digantikan dengan spirit mengabdi kepada motif mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Semua dilakukan dengan pamrih yang kian lama kian menjauhkan individu dari ikatan-ikatan sosial. Idul Adha mengandung spirit untuk menautkan kembali ikatan-ikatan yang telah terlepas itu.

Karena itu, spirit yang terlahir sekian ratus tahun lalu itu menjadi sangat relevan hingga hari ini. Dalam konteks Indonesia, semangat ini bahkan telah menjadi sebuah urgensi. Banyak persoalan bangsa muncul akibat lemahnya spirit untuk berkorban bagi orang lain, spirit untuk berkorban bagi sesama.

Yang jauh lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari sekarang adalah semangat untuk menang sendiri, kaya sendiri, berkuasa sendiri, dan benar sendiri. Spirit seperti ini sudah barang pasti tak menghiraukan penderitaan sesama.

Korupsi, kolusi, dan konspirasi adalah fenomena yang terlahir dari dominasi tata nilai seperti itu. Dan menjadi sebuah kelaziman bila sebagai dampaknya lahirlah penyakit-penyakit sosial. Seperti kemiskinan, kebodohan, kejahatan, keterbelakangan, dan ketertindasan.

Adalah saat yang tepat bagi bangsa ini untuk mengambil hikmah atas hakikat Idul Adha. Tepat karena bangsa ini masih berkubang dalam krisis setelah terpuruk hampir satu dekade. Tepat pula karena di seluruh penjuru negeri kian banyak saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang membutuhkan uluran tangan akibat kehidupan yang serbakekurangan.

Korban tsunami di Aceh dan Sumatra Utara masih banyak yang didera nestapa. Juga korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, korban banjir di Sumatra, dan korban lumpur panas di Sidoarjo. Semua kenestapaan itu menunggu pengamalan atas spirit yang membebaskan.

Sumber