Home » Bulletin SADAR » Buletin SADAR Edisi: 337 Tahun VII – 2011, ISSN: 2086-2024, KONSTITUSI, DISKRIMINASI DAN HILANGNYA HAK POLITIK WARGA NEGARA

Buletin SADAR Edisi: 337 Tahun VII – 2011, ISSN: 2086-2024, KONSTITUSI, DISKRIMINASI DAN HILANGNYA HAK POLITIK WARGA NEGARA

January 2011
S M T W T F S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031  

Arsip:

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab *

“Mas, apakah undang-undang dasar kita sudah berubah ya? Kenapa orang seperti kami sekarang tidak bisa memilih, dulu waktu Pemilu 2004 bisa lho mas milih, TPS-nya ada di sini juga.” Pertanyaan tersebut dilontarkan Sikan (42) seorang petani Moro-Moro dalam sebuah diskusi sederhana beberapa waktu lalu. Pertanyaan penuh makna ini juga yang mengilhami penulis untuk menuliskannya dalam artikel ini.

Pengalaman berbagai konflik agraria seringkali berakhir dengan berbagai kisah terabaikannya hak-hak warga negara. Konflik agraria yang terus terjadi di berbagai tempat mengakibatkan posisi kaum tani Indonesa makin terjepit. Dari tahun ke tahun, ketimpangan struktur agraria akibat monopoli atas sumber-sumber agraria menyebabkan kemerosotan dan keterbelakangan kehidupan kaum tani di semua aspek, mulai sosial-ekonomi, politik maupun budaya.

Kaum tani di Moro-Moro, Register 45, Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung adalah salah satu bagian kaum tani yang merasakan beratnya menghadapi tekanan negara dan berbagai perilaku diskriminasi lainnya. Selama 14 tahun terakhir (sejak 1997) mereka diabaikan hak-hak politik dan ekosob-nya sebagai warga negara akibat konflik agraria yang menyelimutinya. Tinggal di kawasan hutan Register 45 menyebabkan predikat “masyarakat ilegal” harus mereka terima. Konsekuensinya hak –hak konstitusional mereka sebagai warga negara secara sengaja dihilangkan.

Tidak memiliki KTP, dokumen kependudukan, kehilangan hak-hak politik, akses pendidikan dan kesehatan dasar yang memadai seperti layaknya warga negara lainnya adalah konsekuensi yang harus dihadapi ketika pilihan untuk berdiam di kawasan register dilakoni. Aroma konstitusi yang di dalamnya terdapat berbagai pasal yang melindungi hak-hak asasi warga negara tidak pernah sampai apalagi dirasakan oleh 3359 jiwa (hasil SP 2010) kaum tani di Moro-Moro. Kebalikannya, tindakan-tindakan “anti konstitusi” justru menjadi hal yang biasa diterima.

Berbagai pakar hukum telah menyatakan bahwa salah satu elemen dasar dari negara hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar/hak-hak asasi manusia. Dalam konstitusi kita hak-hak asasi manusia juga telah diadopsi menjadi hak-hak konstitusional. Dengan demikian memperbincangkan kerangka normatif dan konsepsi hak-hak konstitusional sesungguhnya tidaklah jauh berbeda dengan bicara hak asasi manusia. Meluasnya jaminan hak-hak asasi manusia melalui pasal-pasal di dalam UUD 1945 tentunnya merupakan sebuah kemajuan dalam membangun pondasi hukum bernegara.

Konstitusi kita secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia/hak-hak asasi manusia. UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Hak untuk memilih selanjutnya juga diatur dalam Pasal 43 ayat 1 UU HAM yang mengatakan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu juga menyatakan bahwa warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin punya hak memilih. Pasal-pasal ini sepengetahuan penulis belum mengalami perubahan.

Kasus hilangnya hak politik warga negara dalam berbagai proses Pemilu yang ada di Indonesia sejak tahun 2006 (Pilkada, Pilgub, Pileg dan Pilpres) seperti yang dialami oleh Rakyat Moro-Moro tentunya mencederai rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum seperti yang tertulis dalam konstitusi. Ironisnya hal ini bukan hanya sekali terjadi , tapi berkali-kali Rakyat Moro-Moro kehilangan haknya sebagai warga negara.

Pemerintah dan KPU tentunya bukan tidak mengetahui persoalan ini karena kasus penghilangan hak politik ribuan warga negara seperti yang dialami masyarakat telah terjadi berulang kali. Saling lempar tanggung jawab antara Pemkab dan KPU terjadi sejak tahun 2006. Sejak tahun 2006 KPU selalu beralasan mereka hanya menerima daftar pemilih dari Pemkab setempat, syarat untuk dapat memilih adalah terdaftar dalam data kependudukan. Sementara Pemkab beralasan meski mengakui warga Moro-Moro sebagai warga negara, tapi mereka belum diakui sebagai warga Kabupaten Mesuji karena bertempat tinggal di wilayah hutan yang dilarang.

Jika terus begitu maka hal ini tidak akan pernah memberikan kepastian hukum terhadap bisa atau tidaknya Rakyat Moro-Moro menggunakan hak konstitusionalnya. Sampai dengan hari ini KPU dan Pemkab sendiri tidak pernah berani mengumumkan secara terbuka pelarangan/penghilangan hak konstitusional Rakyat Moro-Moro dan dasar hukum apa yang digunakan untuk melegalisasi sikap tersebut.

Berbagai inisiatif warga untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih tidak pernah mendapatkan kepastian hukum. Hal ini berbeda dengan kelaziman yang berlaku di berbagai tempat dalam soal pendataan pemilih di Indonesia. Padahal mereka, pemerintah dan KPU, pasti mengetahui bahwa hak politik adalah salah satu hak yang diakui dan dilindungi oleh Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia lewat UU Nomor 12/2005. Dengan demikian sejatinya hak asasi manusia termasuk di dalamnya adalah hak politik, ada karena semata-mata diberikan oleh negara, karena itu sifatnya terlekat (entitelment) bukan hanya semata-mata berdasarkan pemberian hukum positif (given).

Tindakan penghilangan hak politik warga negara dengan alasan karena bertempat tinggal di wilayah hutan ini mengesankan tindakan diskriminatif jika terlalu dini untuk mengkategorikannya sebagai tindakan anti konstitusi. Pemerintah boleh saja berpandangan bahwa keberadaan orang-orang di berbagai register melanggar undang-undang, tapi apakah karena ”dianggap” melanggar hukum hak-haknya sebagai warga negara harus dihilangkan? Sebagai analogi seseorang yang secara jelas telah dinyatakan bersalah dan mendapatkan putusan pengadilan-pun tetap bisa menggunakan hak politiknya.

Lewat analogi ini terlihat bahwa di satu sisi pemerintah tetap berusaha melindungi dan memberikan hak politik warga negara yang berstatus terpidana tapi di sisi lain menghilangkan hak politik warga negara yang “baru dianggap” melanggar undang-undang. Di sinilah yang dimaksud dengan tindakan diskriminatif terjadi. Analogi lainnya adalah pemerintah menjamin hak politik para buruh migran kita yang berada di luar wilayah Indonesia, tapi menghilangkan hak politik warga negara yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Negara, melalui penyelenggara pemilu sejatinya harus mampu menjamin terpenuhinya hak memilih warga karena, meminjam pendapat MK, hak untuk memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi karena soal-soal teknis administratif. Dalam kasus Moro-Moro terdapat cara pandang yang salah dimana selain perilaku diskriminatif, juga muncul sikap “mencurigai” usaha-usaha warga negara untuk memperjuangkan hak politiknya sebagai warga negara.

Dalam kasus Moro-Moro, negara seakan-akan tidak lagi mampu melindungi hak warga negara. Pemerintah dan KPU justru terkesan ragu-ragu kalau tidak bisa dibilang takut untuk menegakkan konstitusi. Pertanyaan akademisnya kemudian adalah apakah konstitusi kita sudah berubah? Apakah kebijakan Pemkab dan peraturan KPU bisa mengalahkan amanat Konstitusi? Apakah perlakuan pemerintah dan KPU terhadap Rakyat Moro-Moro bisa dikategorikan sebagai tindakan inkonstitusional?

UUD 1945 secara tegas melarang berbagai tindakan diskriminasi sebagaimana tercermin pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2). Berbagai peraturan di bawahnya seperti Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menegaskan, bahwasannya setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ditegaskan pula dalam Pasal 28 I ayat (2) yang menyatakan bahwasannya setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Jika melihat Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 jelas menunjukkan tanggung jawab negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Sedangkan Pasal 28 I ayat (5) menegaskan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam prakteknya mungkin ada benarnya pendapat Prof Jimly Asshidiqie yang mengatakan bahwa dalam praktiknya penegakan HAM sangat dipengaruhi oleh corak praktik politik yang berlaku pada suatu negara. Jika politiknya demokratis, maka upaya penegakan HAM menjadi lebih prospektif. Begitu pula sebaliknya, jika politiknya otoritarian, maka alih-alih menegakkan HAM, justru biasanya terjadi adalah merebaknya praktik kejahatan HAM. Namun, dalam keadaan demokratis pun, jika para penegak hukum tidak memiliki kemauan kuat untuk menerapkan law enforcement dan justice enforcement, kejahatan HAM dapat saja tetap terjadi.

Penulis ingin mengutip pernyataan almarhum Gus Dur bahwa ideologi yang luhur dan mulia, ternyata tidak diwujudkan dalam perilaku pemerintahan yang sesuai dengan tujuan dan semangat Undang-Undang Dasar, yaitu berlangsungnya pemerintahan yang memiliki

kewenangan terbatas dalam mengatur kehidupan masyarakat. Negara lalu tampak sebagai kekuasaan pihak yang memerintah, bukannya sebagai pelaksanaan sistem pemerintahan yang bercirikan kedaulatan hukum.

Perjuangan Rakyat Moro-Moro untuk mendapatkan hak politiknya sesungguhnya dapat merupakan perjuangan menegakkan konstitusi. Perjuangan menegakkan amanat “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Juga perjuangan menegakkan Pasal 5 ayat (1) UU HAM mengatakan “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.”

Memang belum tentu juga dengan mengikuti Pemilu akan dapat mengubah nasib Rakyat Moro-Moro menjadi lebih baik, tapi juga tidak bijak juga menghilangkan mimpi mereka untuk melihat masa depan yang lebih baik. Dalam situasi demikian, nilai-nilai konstitusionalisme perlu terus menerus didorong untuk secara berani dan tegas menjamin serta melindungi hak-hak konstitusional warga negarannya. Akhirnya Thomas Jefferson pernah berkata, “If we cannot secure all our rights, let us secure what we can.”

* Penulis adalah Penstudi Hukum, tinggal di Bandar Lampung.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau http://www.prakarsa-rakyat.org).


Leave a comment